Kembangkan Tenun Majalaya Dengan ATBM

Epi Sopian, seorang pengusaha asal Kecamatan Majalaya yang bergerak di sektor tekstil, banyak memberdayakan generasi muda di daerahnya. Bukan tanpa alasan, usaha pembuatan kain ulos yang menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) miliknya itu, membutuhkan tingkat keterampilan dan daya ingat yang cukup tinggi.

 

Awalnya Epi cukup kesulitan merekrut anak muda untuk bekerja di tempatnya, mengingat Majalaya sebagai kawasan pabrik dan perusahaan besar. Di tambah lagi ucapnya, rasa gengsi yang tinggi pada diri generasi muda saat bekerja menggunakan alat tradisional.

 

“Merekrut karyawan yang masih muda itu cukup sulit. Selain bersaing dengan perusahaan besar, umumnya gengsi mereka tinggi. Saya membutuhkan IQ mereka, karena kalau usia tua itu cepat lupa. Akhirnya saya tawarkan upah di atas UMR (Upah Minimum Regional), alhamdulillah saat itu mulai banyak yang tertarik,” ucap Epi saat memamerkan produknya di selasar Gedong Budaya Sabilulungan (GBS), Selasa (5/11/2019).

 

Sampai saat ini belum ada teknologi mesin tenun untuk membuat kain ulos, menurutnya itu dikarenakan tingkat kerumitan dalam pembuatannya. “Kalau di tempat asalnya, Sumatera Utara, pengrajin duduk selonjoran dan membutuhkan waktu satu bulan untuk menyelesaikan sehelai kain ulos. Dengan ATBM ini kalau sudah mahir, sehelai kain hanya butuh waktu tiga hari saja. Coraknya sendiri ada yang sampai 14 warna per helainya,” terang Epi.

 

Dengan merekrut anak muda, dirinya hanya membutuhkan waktu sekitar dua minggu untuk melatih dan membina, dari sejak nol sampai bisa. Epi pun memperlihatkan kelihaian salah satu dari 50 orang karyawan binaannya, saat menenun dengan ATBM tanpa melihat contoh.

 

“Motif kain ini sangat banyak coraknya, setiap suku atau marga memiliki corak khas. Karyawan saya sudah menghafal banyak corak, tinggal kita instruksikan buat corak a atau b, langsung jalan karena sudah ada di dalam kepalanya. Dulu saya sempat memiliki 100 orang karyawan, saat ini pasar sedang lesu sehingga karyawan hanya tinggal setengahnya,” lanjutnya.

 

Sejak 2007, ia memulai usahanya. Berawal saat bertugas ke Pulau Samosir Sumatera Utara, ia melihat produk tersebut sudah mulai ditinggalkan.

 

“Sebagai penyuluh waktu itu, saya ditugaskan Kementerian Perindustrian untuk membina potensi daerah di Samosir. Masyarakat di sana sudah tidak lagi bertenun ulos. Hanya ada seorang ibu yang tengah menenun, saya liat kainnya, saya bawa ke Majalaya untuk dipelajari. Kebetulan saya sudah punya dasar, jadi tinggal mengaplikasikan saja,” tuturnya.

 

Perbedaannya hanya dari sisi bahan, di mana ia menggunakan kain sutera alih-alih poliester seperti aslinya. “Sengaja saya pakai sutera, karena ulos ini kan kain adat, ada aturan mainnya. Saya ubah konsepnya ke fashion, agar tidak terikat aturan adat daerah asalnya,” lanjut Epi.

 

Selama tiga tahun, sejak 2007 hingga 2010, ia berupaya mengembangkan produk kain ulosnya. Sampai ia bertemu dengan seorang desainer, yang membawa kainnya untuk diikutsertakan lomba di United Nations of Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO), dan mendapat Juara I.

 

Terkait pengembangan kain untuk corak khas Kabupaten Bandung, dirinya juga sempat berdialog dengan Bupati Bandung H. Dadang M. Naser. “Untuk tenun ulos ini berbeda dengan batik tulis, yang lebih mudah dalam membentuk corak tertentu, karena merupakan goresan tangan. Saya tengah berupaya untuk memunculkan corak khas Kabupaten Bandung, agar kain ini juga bisa berbicara di Jawa Barat,” tutupnya.

 

Upaya ayah tiga anak ini, mendapat apresiasi dari Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kabupaten Bandung Hj. Kurnia Agustina Dadang M. Naser, karena ia bisa menciptakan lapangan kerja bagi warga setempat. Ini selaras dengan visi misi Kabupaten Bandung, khususnya dalam upaya menciptakan kualitas sumber daya manusia yang unggul.

 

Para pelaku Usaha Kecil dan Menengah (UKM) senantiasa difasilitasi pihaknya, dalam rangka meningkatkan perekonomian Kabupaten Bandung yang berdaya saing.

 

“Kami terus berupaya memfasilitasi para pelaku UKM dan UMKM, bekerjasama dengan dinas terkait, agar dapat terus mengembangkan usahanya. Tidak terbatas pada penyelenggaraan pameran saja, tapi juga kami tengah membentuk suatu wadah pasar online. Tentunya ini dibutuhkan dalam menghadapi era revolusi industri 4.0,” pungkas Kurnia.

 

Sumber: Humas Pemkab Bandung