Petani Rancaekek Minta Evaluasi Limbah Pabrik

Hal itu terungkap dalam pertemuan antara puluhan petani Rancaekek dan Komisi D DPRD Jawa Barat, di Kantor Kecamatan Rancaekek, Kamis (13/3). Pertemuan dihadiri juga perwakilan dari Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) dan Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BLHD) Jabar. Pertemuan dilakukan menyusul aksi petani Rancaekek ke Gedung Sate, Februari lalu.

Engkos Kosim, petani asal Desa Linggar, Kec. Rancaekek mengatakan bahwa tidak ingin mengganggu kelangsungan pabrik. Kami tahu pabrik itu aset negara yang menyerap banyak tenaga kerja. Kami ingin semuanya berjalan baik, baik pabrik maupun pertanian.  

Petani mengungkapkan, ada tiga pabrik tekstil yang memanfaatkan Sungai Cikijing. Sejak pabrik-pabrik itu berdiri pada 1991, hasil panen warga menurun. Itu karena lahan sawah yang produktif semakin berkurang akibat pencemaran.

Sebelum 1995, petani bisa memanen sekitar 4-6 kg setiap tumbak (sekitar 14 meter persegi). Tetapi sejak 1995, sejumlah sawah tidak menghasilkan apa-apa. Sudah tidak ada harapan, kata Ahyar Ridwan yang memiliki sawah seluas 1.200 tumbak (atau sekitar 16.800 meter persegi).

Sejak sawahnya tidak bisa ditanami padi, petani sempat mencoba menanam ubi jalar. Namun, hasilnya nihil. Bahkan ubi juga tidak tumbuh.

Ketua Asosiasi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Rancaekek Cecep Suhendar mengusulkan dilakukan evaluasi analisis dampak lingkungan pabrik-pabrik tersebut.Nantinya akan bisa dilihat dampak lingkungan apa saja yang telah ditimbulkan oleh pabrik-pabrik itu.

Ketika petani mempertanyakan pencemaran, BPLHD menyatakan, limbah yang dibuang di bawah ambang batas.Laporannya pasti baik-baik. Coba langsung ke lapangan. Jangan sampai justru merugikan petani.

Selain pencemaran dari limbah pabrik, petani menghadapi kekurangan air untuk irigasi. Air dari Sungai Cikijing, anak Sungai Citarum, banyak tersedot pabrik. Tanpa ada pabrik pun, ketersediaan air masih belum mencukupi kebutuhan warga.

Balai Besar Wilayah Sungai Citarum sebenarnya telah menentukan debit air yang boleh digunakan pabrik. Pada musim hujan, pabrik boleh menggunakan air 150 liter per detik. Sedangkan pada musim kemarau 50 liter per detik, dengan catatan kebutuhan irigasi warga sudah terpenuhi.

Walaupun jumlah air terbatas, Dinas PSDA mengizinkan penambahan pipa air oleh salah satu pabrik, dengan alasan pipa yang ada sekarang sudah rusak.Kami mengizinkan penambahan pipa, tapi tidak penambahan debit, ungkap Nana Nasuha, Kepala Balai Wilayah Sungai Citarum, Dinas PSDA.

Sekretaris Komisi D DPRD Jabar Dadang M. Naser mengakui lemahnya pengawasan dari instansi terkait untuk mengawal aturan yang telah ditetapkan. Adanya tumpang tindih kewenangan menjadi salah satu penyebab lemahnya pengawasan.Sungai Cikijing sebagai anak Sungai Citarum menyebabkan kewenangan penggunaannya berada pada pemerintah pusat.

Komisi D mengusulkan agar dapat dilakukan IPAL (instalasi pengolahan air limbah) terpadu. Pengolahan limbah dari ketiga pabrik yang beroperasi sebelum dibuang ke Sungai Cikijing dijadikan dalam satu area. Seperti yang ada di Jababeka (kawasan industri Jabar Bekasi). 130 perusahaan IPAL-nya dijadikan satu.

Sumber : Harian Umum Pikiran Rakyat, Edisi, Jum'at 14 Maret 2008