2019, Pemkab Bandung Targetkan 2.580 Rutilahu

Penanganan rumah tidak layak huni (rutilahu) di Kabupaten Bandung terus berjalan. Sampai saat ini masih tersisa kurang lebih sebanyak 18.000 unit yang belum tersentuh bantuan. Pada tahun 2019, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bandung melalui Dinas Perumahan, Permukiman Rakyat dan Pertanahan (Disperkimtan), menargetkan sebanyak 2.580 unit rutilahu.

 

Kepala Disperkimtan Kabupaten Bandung Ir. Erwin Rinaldi, M.Sc. menerangkan, anggaran penanganan rutilahu berasal dari beberapa sumber. Antara lain dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), melalui program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) dan melalui Dana Alokasi Khusus (DAK).

 

“Dari provinsi melalui program rutilahu dan Bantuan Keuangan (Bankeu). Sedangkan program rutilahu kabupaten bersumber dari APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah),” terang Kepala Disperkimtan saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis (5/9/2019).

 

Setiap tahun, ucap Erwin, pihaknya selalu memaksimalkan anggaran dari pusat, provinsi maupun daerah, ditambah peran serta masyarakat (swadaya). Lokasi untuk penyaluran bantuannya pun tercatat dengan baik di data base Disperkimtan.

 

Dari BSPS dialokasikan sebanyak 200 unit rutilahu untuk 10 desa di 4 kecamatan, dan dari DAK untuk 4 desa di 3 kecamatan sebanyak 170 unit. Sementara 880 unit pada 21 desa di 10 kecamatan, dialokasikan dari program rutilahu provinsi.

 

Masih dari provinsi, program Bankeu dialokasikan sebanyak 40 unit untuk 8 desa di 4 kecamatan. Terbanyak adalah dari program rutilahu kabupaten, yaitu sebanyak 1.290 unit untuk 231 desa di 31 kecamatan.

 

“Besaran stimulan tiap unit rumah dari APBD itu sebesar Rp. 15 juta. Dengan rincian bahan material Rp. 14 juta, upah kerja Rp. 800 ribu dan Rp. 200 ribu sisanya untuk BUMDes (Badan Usaha Milik Desa). Kalau dari pusat dan provinsi perlakuannya beda lagi,” urai Erwin didampingi Kepala Bidang Pengembangan Perumahan H. Tri Martono, S.T, M.M.

 

Pada prinsipnya tambah Erwin, masing-masing rutilahu hanya boleh mendapatkan bantuan sebanyak satu kali dari satu sumber dana. Kecuali di atas enam tahun dan dinilai masih tidak mampu, maka bisa diajukan lagi. 

 

“Untuk penanganan yang bersumber dari APBD, sebagian besar kita dapatkan datanya melalui musrenbang (musyawarah perencanaan pembangunan) di tahun sebelumnya. Dari musrenbang lalu masuk RKA (Rencana Kerja dan Anggaran), dilengkapi dengan proposal. Pada tahun anggaran berjalan kita verifikasi, identifikasi lalu dilakukan pelaksanaan yang didampingi oleh konsultan pendamping,” tuturnya pula.

 

Untuk sumber anggaran lain, pengajuannya berbeda didasarkan pada usulan daerah atau desa. Kemudian pihaknya akan mengusulkan baik kepada provinsi maupun pusat. “Mekanisme pengajuan dari desa selalu kami gunakan, dengan pertimbangan pemerintah desa sangat tahu persis prioritas di daerah,” tambah Erwin.

 

Penanganan dana pada tiap sumber anggaran pun berbeda-beda. Dari APBN (BSPS dan DAK) langsung masuk ke rekening penerima manfaat, sedangkan dari provinsi (program rutilahu dan bankeu) dikelola oleh Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD).

 

“Nah dari APBD, itu dikelola oleh BUMDes. Semua transaksi dari seluruh sumber itu melalui transfer, jadi tidak ada transaksi tunai kecuali untuk upah kerja. Kita tidak menggunakan lagi sistem cek atau tunai,” katanya.

 

Sumber: Humas Pemkab Bandung