Sapan, Berkah dari Citarum

Kampung Sapan memang terkenal dengan industri bata merahnya. Sejak tahun 1965 banyak penduduk di daerah ini yang memanfaatkan lumpur Sungai Citarum untuk membuat bata merah. Pada awalnya, pembuatan bata merah tersebut dilakukan di dalam kampung, tidak di pinggiran sungai. Media pembuatannya tidak menggunakan pembakaran (lio), hanya mengandalkan panas matahari saat musim kemarau. Tujuannya pun tidak untuk dijual, tetapi untuk memenuhi kebutuhan bahan pokok bata merah saat membangun rumah.
 
Namun, dalam perkembangannya banyak orang menyadari keunggulan kualitas bata merah Sapan yang dinilai kuat, besar, dan tidak mudah retak, dan biasanya berukuran 20 x 10 x 5 cm. Permintaan terhadap bata merah Sapan berdatangan dalam jumlah cukup besar. Orang-orang membutuhkan bata merah untuk keperluan pembangunan rumah. Tak ayal, para penduduk setempat pun mulai menjadikan pembuatan bata merah sebagai arena mencari nafkah. Beramai-ramai mereka mengeruk lumpur di Sungai Citarum dan mendirikan ratusan lio (tempat pembakaran bata). Pada tahun 1970-an, ratusan tempat membakar bata merah, berbentuk kubah segitiga beratap plastik, berderet di sepanjang pinggiran Sungai Citarum, dari daerah Sapan hingga Bantar Panjang Kecamatan Baleendah.
 
Pengelolaan usaha bata merah dilakukan sendiri-sendiri dan berlangsung turun-temurun. Para pembuat bata merah Sapan yang sekarang kebanyakan adalah keturunan perajin bata generasi pertama yang mencoba peruntungan dengan meneruskan usaha orang tua mereka. Para perajin bata merah Sapan tidak memiliki wadah atau asosiasi bersama. Tanpa menerapkan sistem pemasaran khusus, hanya menunggu pembeli atau kadang juga ditampung oleh penampung atau bandar batu bata di daerah tersebut untuk dijual ke para kontraktor, bata merah Sapan mampu menjangkau Bogor, selain Kota Bandung, Cimahi, dan Cicalengka.
 
Massa keemasan itu sudah lewat. Semenjak krisis moneter tahun 1998, tak tampak lagi Sapan yang dulu ramai oleh lalu lalang mobil-mobil pengangkut bata. Konsumen yang dulu berbondong-bondong memesan bata merah ke daerah ini juga berkurang drastis.Dani, salah seorang perajin bata. mengatakan, Kalau dulu mah rame, ya tahun 1990-an lah, tetapi kalau sekarang sepi. 
  
Ratusan lio yang dulu berjejer di pinggir Citarum jumlahnya mulai menyusut. Bahkan ada yang ditinggalkan tak terawat oleh pemiliknya. Regenerasi industri ini juga tersendat karena banyak keturunan para perajin yang memilih banting setir membuka usaha baru atau memilih bekerja pada orang lain seiring sepinya pembeli akibat berkurangnya jumlah projek pembangunan perumahan berbahan bata merah.
 
Proses pembuatan bata merah diawali dari pengadukan tanah dengan huut (bubuk sekam) atau biasa disebut ngaluluh. Untuk membuat 20 ribu potong bata merah dibutuhkan campuran tanah liat dengan dua puluh karung (400 kg) sekam. Setelah itu campuran tersebut dipancong (diinjak-injak). Tahap selanjutnya adalah pencetakan. Pada tahap ini bahan bata merah dicetak pada sebuah cetakan berukuran 20x10x5 cm. Kemudian dipegangkeun (ditata secara berjajar) supaya kering. Proses ini membutuhkan waktu cukup lama. Oyib, salah satu pembuat bata merah Sapan, Mun cuacana nuju sae mah 3 minggu ge garing. Tapi mun usum hujan jiga ayeuna mah bisa dua bulanan (Jika cuaca sedang bagus tiga minggu juga kering. Akan tetapi, jika musim hujan seperti sekarang bisa dua bulanan). Setelah kering bata-bata tersebut dibersihkan untuk kemudian dipanggang di lio agar matang, kuat, dan siap pakai.
 
Selain memakan waktu yang cukup lama, produksi bata merah ini juga menghabiskan banyak biaya seperti ongkos ngaluluh dan mancong Rp 30,00 per bata dan mencetak sebesar Rp 15,00 per bata. Ajat, salah satu perajin bata merah, menagtakan, Biaya jang ngadamel 10.000 bata ageung pisan. Mayar jang muruhkeun kangge ngaluluh, mancong jeung nyitak weh tos Rp 500.000,00. Ka nu gaduh taneuh masihan 1.500 bata. Can huutna 150 karung kali Rp 4.000,00. Teu aya untungna (Biaya untuk membuat 10 ribu bata besar sekali. Bayar untuk buruh mengaduk, menggilas, dan mencetak saja sudah Rp 500.000,00. untuk pemilik lahan memberi sebanyak 1.500 bata. Belum bubuk sekam 150 karung dikalikan Rp 4.000,00. tidak ada untungnya) . Belum lagi ongkos pengiriman barang yang cukup mahal.H. Tatang, salah seorang penampung bata Sapan mengungkapkan, Kalau pakai ojek Rp 20,00 per bata. Kalau truk bisa sampai Rp 50,00 per bata untuk mengantar ke Bandung,"  Setelah matang, setiap bata merah dijual dengan kisaran harga Rp 150,00-Rp 200,00 bergantung pada kualitasnya.
 
Para pembuat bata merah saat ini mengaku cemas dengan kondisi usaha mereka. Berbagai kendala seperti berkurangnya bahan baku, cuaca, modal, serta mahalnya harga bahan bakar minyak menyulut keterpurukan produsen bata merah Sapan.
 
Bahan baku utama berupa tanah lempung di pinggiran Sungai Citarum yang setiap harinya digali oleh ratusan perajin bata, jumlahnya semakin menipis. Ketergantungan terhadap cuaca juga sangat memengaruhi pembuatan bata merah. Saat kemarau, pengeringan bata dapat berlangsung cepat. Namun, saat hujan butuh waktu cukup lama untuk mengeringkan bata merah. Hal tersebut juga dikeluhkan oleh Dani,Paling cepat buat bata butuh waktu tiga bulan untuk menghasilkan sepuluh ribu bata merah. Kalau musim hujan, bata susah kering, jadi siap untuk dijualnya juga semakin lama.
 
Dalam rentang waktu ini pendapatan mereka otomatis menghilang sementara biaya hidup harus dipenuhi setiap hari. Belum lagi kemungkinan penurunan kualitas bahkan kerusakan bata akibat cuaca seperti hujan atau karena dibiarkan terlalu lama. Kalaupun ribuan bata tersebut terjual, keuntungan yang didapat juga kecil mengingat pembengkakan biaya untuk pengupahan di tiap tahapan produksi. Dampak lainnya, mereka juga mengalami kesulitan dalam hal modal untuk melakukan produksi selanjutnya. Kekhawatiran bertambah karena isu kenaikan harga bahan bakar minyak pada tahun 2008 ini.
 
Industri bata merah Sapan sudah bernapas lebih dari empat dekade. Menghidupi ribuan warga di daerah Bandung Selatan tersebut. Sekarang, keberlangsungan industri ini terancam regenerasi yang tersendat dan berbagai kendala lain yang menerpa para perajinnya. Akankah mereka tetap bertahan?
 
Sumber : Harian Umum Pikiran Rakyat, edisi Jum'at, 18 Januari 2008