Dana Kurang, Efektivitas Pengobatan Dipertaruhkan

    Kepala Dinas Kesehatan Kab. Bandung Ahmad Kustijadi mengatakan, dalam pedoman baku yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan, biaya sosialisasi pengobatan kaki gajah ditetapkan Rp 1.900 per orang. Karena jumlah warga Kab. Bandung yang mengikuti program pengobatan mencapai 2,7 juta orang, idealnya dana yang tersedia sekitar Rp 5,1 miliar. Namun, yang disediakan APBD Kab. Bandung Rp 2,4 miliar. Agaknya, bidang kesehatan masih belum jadi prioritas, masih kalah dengan bidang-bidang lain, ujarnya, di Puskesmas Kopo Bihbul, Senin (1/11).

    Meski begitu, Kustijadi menegaskan, Dinkes beserta seluruh petugas yang terlibat akan bekerja seoptimal mungkin agar tidak mengulangi kekacauan yang terjadi pada pengobatan tahap pertama. Oleh karena itu, program pengobatan di Kab. Bandung mendapat sorotan secara nasional karena dugaan adanya kelalaian petugas menyusul ditemukannya beberapa warga yang meninggal seusai mengonsumsi obat antifilariasis.

    Salah satu siasat yang diterapkan Dinkes adalah menggandeng sebelas Sekolah Tinggi Kesehatan (Stikes) dan empat Fakultas Kedokteran di empat universitas di Bandung Raya. Tenaga para mahasiswa dan dokter muda itu dibutuhkan untuk menggenapi kekurangan 700 tenaga pendamping di 3.971 posyandu yang ada di Kab. Bandung. Mereka tak dibayar. Bahkan, secara sukarela datang dengan ongkos sendiri, membawa tensi sendiri, dan bekal makanan sendiri.

    Pakar parasitologi dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung Ridad Agus amat menyayangkan minimnya dana yang tersedia untuk proses sosialisasi. Padahal, tahap ini memegang peran vital dalam keberhasilan proses pengobatan kaki gajah. Kekacauan yang terjadi tahun lalu lebih disebabkan faktor minimnya sosialisasi. Di lapangan, semua menjadi panik dan ingin ke rumah sakit. Amat disayangkan, sekaligus dikhawatirkan, jika dana untuk itu tak juga dicukupi.

    Selain menambah tenaga pendamping, Dinkes juga melakukan beberapa perubahan prosedural pelaksanaan pengobatan. Mengikuti anjuran Kemenkes, pengobatan tidak dilakukan serentak dalam satu hari seperti pada tahap pertama. Sebanyak 31 kecamatan yang ada akan dibagi ke dalam empat kelompok. Setiap kelompok mendapat giliran melaksanakan pengobatan selama satu minggu, mulai 8 November.

    Menurut Ridad, kompromi yang diambil Kemenkes masih dapat dibenarkan dalam kasus-kasus khusus, mengingat apa yang terjadi di Kab. Bandung tahun lalu. Memang idealnya pengobatan dilakukan serentak dalam sehari, tetapi penahapan ini masih dibenarkan. Tidak masalah asal efektif pelaksanaannya.

    Dinkes juga akan memperbaiki penanganan pasien di pos minum obat (PMO). Ada pemeriksaan warga sebelum minum obat, terutama untuk mengetahui kondisi tekanan darah tinggi. Warga pun diwajibkan langsung menelan obat di PMO, tidak boleh dibawa pulang demi mempermudah pengawasan. Masyarakat jangan mudah panik jika merasa mual. Itu hal biasa, reaksi tubuh terhadap obat, papar Suhardiman, Kabid Pengendalian dan Pencegahan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Dinkes Kab. Bandung.

 

 

 

 

Sumber : Harian Umum Pikiran Rakyat, Selasa 02 November 2010