Bupati R.A.A. MARTANEGARA Periode 1893-1918



R.A.A.MARTANEGARA
Periode 1893-1918



R.A.A. Martanagara, diangkat sebagai bupati padahal dia adalah menak dari Sumedang sehubungan dengan anak dari Bupati R.A. Kusumahdilaga masih kecil yang baru berumur lima tahun, maka  diangkatlah menak Sumedang. Adanya penggantian jabatan oleh menak dari lain tempat, ternyata menimbulkan konflik.

Pada waktu itu R.A.A. Martanagara sedang menjadi Demang Patih di Mangunreja Tasikmalaya. Bupati yang dikelola oleh menak Bandung sebagai "Dalem Panyelang" ini, adalah keturunan para Bupati Sumedang, cicit pangeran Kornel (1791-1828). Ayahnya bernama Raden Kusumayuda, Wedana Cibeureum, sedangkan ibunya Nyi Raden Ayu Tejamirah masih keturunan para Bupati Bandung R.A.A. Martanagara dilahirkan pada tanggal 9  Februari 1845. Jadi, ketika diangkat dengan Besluit tertanggal 7 Juni 1893 menjadi Bupati Bandung, ia sudah berusia 48 tahun.

Sebenarnya menak Bandung juga mengajukan usul beberapa calon Bupati, termasuk putra Dalem Bintang, Bupati terdahulu. Namun usul mereka tidak mendapat persetujuan Pemerintah Hindia Belanda karena para calon itu dianggap tidak memenuhi persyaratan. Salah satu contoh adalah Patih Bandung, Raden Rangga Somanagara.

Ada dua peristiwa penting yang harus dicatat disini. Pertama adalah sambutan yang tidak mengenakan hati atas pengangkatan R.A.A. Martanagara sebagai Bupati. Kedua adalah upaya pembangunan yang dilakukan R.A.A. Martanagara, yang dapat menghapus citra negatif tentang bupati yang bukan "putera daerah", dan ketiga adalah tentang R.A.A. Martanagara sebagai sastrawan. Peristiwa terakhir adalah diberlakukannya Undang-undang Desentralisasi dan Otonomi sehingga ibukota Kabupaten Bandung menjadi gemeente (kotapraja).


Bupati R.A.A. Martanegara Tahun 1871
Program-program lain pun tak kalah revolusioner. Martanagara mengisi kas daerah dengan menginstruksikan penanaman singkong besar-besaran, karena singkong saat itu sedang laku di pasaran dunia. Hasil kas digunakan untuk program-program lain, seperti memperluas area persawahan plus memperbaiki sistem irigasi. Martanegara bahkan mengungkapkan, bahwa tanah akan lebih berguna jika ditanami dibandingkan dengan diurug untuk dijadikan perumahan. Sedangnkan program irigasi diwujudkan lewat mega proyek irigasi Cihea, yang menghabiskan satu juta gulden. Mungkin hanya di masa Martanagara lah luas daerah persawahan tidak berkurang seiring majunya perekonomian sebuah kota, melainkan makin meluas. Pada tahun 1896 luas areal persawahan mencapai 800.000 bau. Dan ketika tahun 1912 mencapai 1.000.000 bau.

Pembangunan prasarana publik pun tidak terlupa. Untuk mempermudah akses keluar masuk daerah, beliau membangun jembatan (jembatan bambu)di beberapa sungai besar di sekitar Bandung. Dalam waktu singkat telah dibangun lima buah jembatan di aliran Citarum; yang menghubungkan Cicalengka-Majalaya, Ujungberung-Ciparay, Dayeuhkolot-Banjaran, Cimahi-Kopo, dan yang terakhir menghubungkan Rajamandala dan Cihea, dimana arus lalu lintas dari dan ke Batavia serta Bogor berhasil dipersingkat. Bahkan ketika pejabat kolonial meninjau proyek-proyek ini, disangkanya Martanagara adalah seorang insinyur teknik lulusan Belanda. Dua tahun kemudian, kelima jembatan bambu ini sudah diganti dengan yang berbahan besi.

 
Jembatan Bambu Citarum
 
Jembatan Baru Citarum Tahun 1917

Martanagara pun berhasil membangun irigasi beberapa taman di Bandung seperti Taman Merdeka (Pieterspark), Taman Nusantara (Insulindepark), Taman Maluku (Molukenpark), dan Taman Ganesha (Ijzermanpark).

Tahun 1897 Martanagara lagi-lagi harus mengalami kehilangan seorang istri. Raden Ayu Sangkanningrat meninggal satu bulan setelah melahirkan putra pertamanya, Aom Singgih. Beliau dimakamkan di Karang Anyar. Setahun kemudian ia pun menikah lagi, lagi-lagi dengan putri Pangeran Sugih, yaitu Nyai Raden Rajaningrat.


R.Dewi Sartika

R.Dewi Sartika dengan murid-murid Sekolah Kautamaan Istri


Tahun 1904. Untuk ke sekian kalinya, datanglah Raden Dewi Sartika ke kantor Martanagara. Raden Dewi tak lain adalah putri dari Somanagara, sang pengacau pada awal kepemimpinannya. Raden Dewi datang untuk kesekian kalinya memohon untuk diizinkan membuka sekolah untuk kaum perempuan, dari kalangan apapun. Martanagara dilanda kebimbangan, rencana Raden Dewi merupakan rencana yang sangat mulia dan progresif untuk jamannya. Namun di sisi lain akan menimbulkan kegoncangan bagi kaum priyayi, terutama para wanitanya. Karena sekolah adalah eksklusivitas yang hanya diperoleh kaum priyayi dan kaum berada. Tapi pada akhirnya, kecintaannya pada kemajuan membuatnya mengizinkan rencana Raden Dewi membuka sekolah. Agar tidak terlalu menghebohkan, sekolah Raden Dewi ia sediakan tempat di halaman rumah dinasnya. Dukungannya pada sekolah yang kelak bernama Sakola Kautamaan Istri tersebut berlanjut, bahkan ketika sekolah mencari tempat baru karena membludaknya murid, Martanagara ikut patungan (dari kocek pribadi) bersama Raden Dewi untuk membeli sebuah tanah di Ciguriang berikut membangun bangunan dari kayu dan bambu.

Beragam penghargaan pernah beliau terima ketika menjabat sebagai bupati. Tahun 1900 penghargaan bintang emas beliau terima dari pemerintah kolonial. Tahun 1906 memperoleh gelar adipati. Tahun 1909 beliau mendapatkan penghargaan tertinggi, yaitu payung emas (golden parasol) dari pemerintah. Beliau pun pernah mendapat gelar kehormatan dari Raja Siam, Officer of the Order of the Crown of Siam.

Tahun 1918, setelah 25 tahun menjabat bupati Bandung, Martanagara merasa sudah waktunya ia untuk mundur.  Usia yang sudah menginjak 74 tahun menyulitkannya untuk bekerja dengan fokus dan baik. Ia pun resmi mundur bersamaan dengan dikeluarkannya surat keputusan resmi pemerintah tanggal 14 Oktober 1918. Martanagara menghabiskan masa tuanya di Sumedang, tanah kelahirannya. Tempat tinggalnya di masa pensiun ini berpindah-pindah. Pertama ia menempati bagian selatan kompleks kabupaten, lalu ia dipinjami sebuah rumah oleh seorang Belanda, sembari ia pun membangun sebuah rumah di Burujul, sebelah barat kota Sumedang.Yang dihuninya sampai akhir hayat sebelum dimakamkan di Kompleks Makam Gunung Puyuh. Tidak diperoleh info tentang kapan beliau wafat.

Sumber : Penelusuran Sejarah Pemerintah Kabupaten Bandung Tahun 1846 - 2010