Anggaran untuk Penanganan Sungai Secara Fisik Citarum Perlu Rp 3,3 T

Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Agung Laksono seusai memimpin Rapat Koordinasi Kesejahteraan Rakyat (Rakor Kesra) mengenai penanganan secara terpadu DAS Citarum yang berlangsung di Kantor Menko Kesra, Jakarta, Senin (5/4). mengungkapkan, Untuk mengatasi banjir yang terjadi di sepanjang anak Sungai Citarum, perlu penanganan sungai secara permanen. Dari segi fisik, diperlukan anggaran Rp 3,3 triliun.

Dalam Rakor Kesra tersebut, hadir Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, Menteri Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta, dan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan. Rapat ini dipimpin Menko Kesra  Agung Laksono.

Pada kegiatan fisik, Agung mencontohkan penanganan sembilan anak Sungai Citarum, penanganan banjir di Bandung dan Karawang, menyelesaikan tata ruang Jawa Barat, penanganan erosi, sedimentasi, dan normalisasi Sungai Citarum termasuk pelebaran sungai.

Selain itu, menurut Agung, pembangunan 22 waduk dan kolam, penanaman hutan kembali, dan penanganan operasional 3 waduk besar, yaitu Jatiluhur, Cirata, dan Saguling.Jadi penanganannya secara terpadu.

Besarnya biaya yang diperlukan disebabkan pokok masalah banjir yang melanda kawasan di sekitar DAS Citarum adalah rusaknya hutan di hulu. Selama ini, pola bercocok tanam yang dilakukan masyarakat/petani misalnya, dinilai keliru atau tidak betul, seperti tanah dengan kemiringan 45 derajat yang menurut aturan hanya boleh ditanami dengan tanaman keras, tetapi ditanami tanaman musiman.

Sementara itu Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan di tempat yang sama mengatakan, Meski pokok masalah adalah di  hulu Sungai Citarum, bukan berarti tidak ada masalah di hilirnya. Kalau yang hulu tidak selesai, tentu ikutannya juga tetap  bermasalah.

Menurut Zulkifli, ada sekitar  50.000 hektare lahan yang seharusnya menjadi kawasan konservasi, menjadi cagar alam, dan menjadi hutan lindung. Bahkan, ada juga  kawasan yang memiliki kemiringan besar.

Itu berubah fungsi karena milik petani. Milik rakyat, berubah menjadi sawah dan tanaman semusim, termasuk di punggung gunungnya itu. Itu bukan kritis tapi sudah alih fungsi yang parah.

Zulkifli menegaskan, lahan seluas 50.000 hektare itu tidak akan jadi masalah bila petani sayur beralih menjadi peternak dan diajak menanam tanaman jangka panjang. Dalam waktu  satu setengah tahun lahan yang beralih fungsi itu bisa diselesaikan untuk penanaman kembali. Namun, masalah sosial butuh pendalaman bersama.

Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan menyoroti masalah sosial budaya. Dia menegaskan, masalah penghijauan hutan kembali  tidak semata-mata asal menghijaukan.Kalau hanya penghijauan hutan, Pemprov Jawa Barat itu mengeluarkan anggaran untuk membeli dan menanam 10 juta pohon setiap tahun. Ini berlangsung sejak tahun 2003 sehingga diperkirakan sudah 70 juta pohon.

Heryawan juga mengungkapkan, kawasan hutan di Jawa Barat agak berlainan dibandingkan dengan kawasan hutan daerah lain. Di daerah lain, kawasan yang dikelola Perhutani lebih besar, tetapi di Jawa Barat kawasan yang dimiliki dan dikelola rakyat justru lebih besar dibandingkan dengan yang dimiliki dan dikelola Perhutani.Maka muncullah persoalan sosial budaya, jika dihutankan kembali itu tidak optimum.

Gubernur mengharapkan ke depan akan dibuat tim penanganan masalah sosial. Tim ini nanti bertugas untuk mencari cara alih fungsi mata pencaharian bagi masyarakat ketika mereka dilarang bertanam tanaman semusim di kemiringan 15 derajat ke atas.

Gubernur juga menyinggung soal keluarga berencana dan transmigrasi penduduk. Untuk soal transmigrasi misalnya, setiap tahun Jawa Barat kebagian 700 kepala keluarga (KK), setara kira-kira 2.000 an jiwa.

Kalau kemudian jatahnya ada, misalnya 5.000 KK, itu ada, kami siapkan.Ahmad Heryawan menilai, hal itu cukup menyelesaikan persoalan, apalagi  pola-pola transmigrasi sekarang  berbeda dengan pola-pola dahulu.

Success story (cerita sukses) lebih banyak dibandingkan dengan kegagalan. Apalagi sekarang ada   konsep kota mandiri, kawasan perkampungan sehingga cukup membetahkan.

Selanjutnya, Gubernur juga mengatakan pentingnya seluruh pemangku kepentingan di Jawa Barat dan Indonesia secara umum, untuk mengampanyekan cinta lingkungan dan kampanye mencintai lahan lestari. Ini harus didukung pemerintah sebaik-baiknya.

Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, selain menyoroti soal pola bercocok tanam masyarakat yang dinilai keliru, juga menyinggung pentingnya keberadaan waduk, berapa pun besar atau kemampuannya dalam rangka  konservasi air ataupun pengendalian banjir.

Adanya masalah sosial, kata Djoko, misalnya banyak orang membuang sampah seenaknya di sungai, membuat permukiman di pinggir-pinggir  kali.

Yang terjadi di Ciliwung juga terjadi di Citarum. Kemudian sungainya menjadi sempit. Untuk itu dibutuhkan rencana induk.

Sumber : Harian Umum PIkiran Rakyat, Edisi Selasa 6 April 2010